Masalih Mursalah, Maslahat Dakwah Dan Hakikat Hizbiyyah
APA YANG DIMAKSUD MASALIH MURSALAH, MASLAHAT DAKWAH DAN HAKIKAT HIZBIYYAH
Oleh
Syaikh Abu Ubaidah Masyhurah bin Hasan Salman
Pertanyaan
Syaikh Abu Ubaidah Masyhurah bin Hasan Salman ditanya : Apa yang dimaksud dengan masalih mursalah, maslahat dakwah dan hakikat hizbiyyah?
Jawaban
Permasalahan usul lainnya yaitu tentang maslahat mursalah, banyak orang mencampur adukkan antara maslahat mursalah dengan bid’ah. Bid’ah digolongkan menjadi dua : Bid’ah Hakikiyyah dan Bid’ah Idofiyyah. Jika sesuatu masalah mungkin berlaku dan terjadi di masa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi ditinggalkan Rasulullah dan tidak pernah diperbuat para sahabat setelah wafatnya, maka dia digolongkan kedalam bid’ah idofiyyah dan bukan maslahat mursalah, seperti dzikir-dzikir yang banyak kita dengar diucapkan di negeri ini setelah atau sebelum adzan dikumandangkan, sebab adzan sendiri dimulai dengan sesuatu lafazd tertentu dan diakhiri dengan sesuatu lafazd tertentu pula, dan tidak diperlukan adanya tambahan lagi, karena jika memang dzikir-dzikir ini baik dan boleh dilaksanakan tentulah mereka dapat melaksanakannya.
Adapun maslahat mursalah maka harus memiliki beberapa kriteria tertentu, diantaranya :
Pertama : Kemaslahatan itu sendiri hendaklah maslahat hakikikiyyah (masalah yang sebenarnya) bukan kemaslahatan yang masih wahahamiyyah (diragukan).
Kedua : Harus benar-benar merupakan kemaslahatan yang mursalah atau mutlaqoh dimana perkara ini secara tekhnis tidak bertentangan dengan syariat dan tidak mungkin terjadi dizaman shahabat, seperti penggunaan mikrofon dalam adzan, ini bukan bid’ah tetapi merupakan contoh dari maslahat mursalah. karena alat-alat seperti ini tidak pernah ada sebelumnya.
Jika sekiranya hal ini mungkin terjadi dizaman Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam namun ditinggalkannya pastilah penggunaan mikrofon seperti ini dianggap bid’ah. Sebab kita tahu bahwa adzan disyariatkan untuk memberitahukan masuknya waktu shalat dan mikrofon ini benar-benar sangat penting digunakan untuk fungsi ini demi kemaslahatan agar orang dapat mendengarnya, sementara mustahil hal ini terjadi pada zaman Rasul dan mereka tidak mengenal ataupun mempelajarinya. Maka hukumnya sama dengan hukum menggunakan kaca mata sebagai alat melihat dan membaca bagi orang-orang yang kabur penglihatannya, inilah dia maslahat, tetapi maslahat harus diletakkan sesuai dengan porsinya dan tidak terlampau dibesar-besarkan. Jika dikatakan bahwa membaca Al-Quran dengna memakai kaca mata adalah sunnah, tentulah hal ini berlebihan, namun banyak yang beranggapan bahwa orang-orang Salaf tidak biasa membedakan antara maslahat dengan bid’ah, sebenarnya ini merupakan kezaliman yang nyata terhadap dakwah Salaf.
Ungkapan bid’ah yang diucapkan oleh ulama Salaf sebenarnya berdasarkan kriteria dan persyaratan tertentu yang diambil berdasarkan istiqra (pemahaman) terhadap nas-nas dan kaidah-kaidah yang mereka susun. Literatur yang sangat relevan dalam hal ini aku sarankan agar membaca dua literatur penting :
Pertama : Karya Imam Syatibi “Al-I’tishom” dimana di dalamnya ada cara membuat kaidah dasar mengenai ahli bid’ah. Penuntut ilmu syar’i dapat mengambil banyak manfaat dari buku ini.
Kedua : Karya Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah” Iqtido’ sirat al-mustaqim.
Adapun maslahat dakwah, banyak orang yang menggunakannya sebagai pembenaran atas berbagai kepentingan dan keingginan mereka, padahal maslahat dakwah harus dipandang dengan kacamata maslahat yang syar’i. Didalam menyikapi berbagai masalah baru dan problematika besar yang berkembang, seseorang harus meruju’ kepada alim ulama, jika terdapat sesuatu hal yang dianggap dapat dijadikan sebagai kemaslahatan dakwah, maka harus ditanyakan terlebih dahulu kepada para ulama agar mereka yang dapat menghukuminya.
Adapun maslahat yang bertentangan dengan nas syar’i seperti berbuat kebohongan, mendahulukan kepentingan pribadi dengan mengatas namakan kepentingan agama tentulah tidak benar, oleh karena itu pastilah berbeda antara orang yang selalu berjalan dan beputar di atas poros agama dengan orang yang memutar balikkan agama, tentu berbeda antara seseorang yang paham dengan kemaslahatan mendesak yang harus diperbuat dalam suatu waktu tertentu dan diperkuat dengan nas-nas syar’i maupun dalil, dengan seseorang yang menjadikan agama laksana gudang agar dapat mengambil agama untuk kepentingan hawa nafsunya. Ahlus-Sunnah sebagaimana yang dikatakan Imam Waki’ :”Menyebutkan apa-apa kelebihan dan kekurangan mereka”. Sementara ahlu bid’ah hanya menyebutkan kelebihan-kelebihan mereka saja dan menyembunyikan kekurangan mereka.
Terakhir adalah hakikat hizbiyyah, al-wala (loyaliitas) dan al-baro’, sikap cinta ataupun benci haruslah berdasarkan agama. Kita dituntut untuk mencintai seseorang, membencinya wala maupun bara’ atasnya haruslah karena agama. Pernah terjadi antara seorang Muhajirin dengan seorang Anshar bertengkar, sehingga keduanya berteriak minta bantuan kepada kaumnya masing-masing” Wahai Anshar, Wahai Muhajirin!!”. Seketika Rasulullah datang menghampiri mereka dan bersabda :
“Kenapa kalian masih menyerukan fanatisme kejahiliyyah sementara aku ada ditengah-tengah kalian”.
Hakikat Hizbiyyah yakni al-wala’ dan al-baro’ serta berkelompok yang mereka lakukan bukan berlandaskan syariat. Agama kita sebenaranya sangat lengkap dan sangat munazzam (teratur rapi) kita diatur melaksanakan ibadah haji dalam satu waktu dan satu tempat, shalat berjamaah ditempat yang ditentukan, berpuasa pada waktu yang sama, segala sesuatu diatur lengkap dalam agama kita. Barang siapa yang tidak rela dengan agama ini semoga dijauhkan Allah. Cukuplah bagi kita untuk berkumpul dibawah satu panji, melaksanakan ketaatan dan ibadah. Inilah yang dapat kusampaikan.
[Seri Soal Jawab DaurAh Syar’iyah Surabaya 17-21 Maret 2002. Dengan Masyayaikh Murid-murid Syaikh Muhammad Nashirudiin Al-Albani Hafidzahumullahu diterjemahkan oleh Ustadz Ahmad Ridwan , Lc]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1719-apa-yang-dimaksud-masalih-mursalah-maslahat-dakwah-dan-hakikat-hizbiyyah.html